Rabu, 19 September 2012

Tentang :: Guru Besar dan Keluarga Besar Al - Faqih

Gbr 1. Logo Pondok Pesantren Al - Faqih
                                                 
1. K. Muhammad Jawahir
Berbicara tentang sejarah atau asal mula berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih, maka tidak bisa terlepas dari sosok seorang Kyai yang bernama Kyai Muhammad Jawahir. Beliau adalah putra dari Kyai Imam Qusyairi, yang berasal dari daerah Banten. Beliau selanjutnya memperistri salah seorang keponakan dari Pangeran Diponegoro, dan selanjutnya Beliau menjadi “tangan kanan” Pangeran Diponegoro dalam berjuang melawan penjajah Belanda, dan bertugas di daerah Banten dan sekitarnya. Asal mula Kyai Imam Qusyairi bisa sampai di Desa Selo adalah berawal ketika Pangeran Diponegoro kalah perang dan tertangkap oleh Belanda, maka seluruh pasukan dan anak buah Pangeran menjadi buronan Belanda, termasuk Kyai Imam Qusyairi. Untuk menyelamatkan diri, Kyai Imam Qusyairi keluar dari Banten dan bersembunyi dari kejaran Belanda di desa terpencil yang bernama Selo. Di desa inilah Kyai Imam Qusyairi hidup dan membesarkan anak-anaknya dengan senantiasa menanamkan nilai-nilai antikolonialisme Belanda.
Kyai Muhammad Jawahir hidup dalam disiplin yang tinggi di bawah didikan ayahandanya Kyai Imam Qusyairi. Sehingga Beliau menjadi khazanah keilmuan yang luas, baik ilmu keagamaan maupun Falak atau perdukunan. Pada masa Kyai Muh. Jawahir Pondok Pesantren Al Faqih secara yuridis formal belum berdiri. Akan tetapi, Kyai Muh. Jawahir telah menerima konsultasi keilmuan, baik agama maupun yang lainnya, dan konsultasi tersebut lebih sering diadakan/dilaksanakan di Masjid Jami’ Kyai Ageng Selo. Itu artinya sejak masa Kyai Muh. Jawahir telah ada semacam kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya inilah yang menjadi embrio lahirnya/berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih.
Banyak kalangan yang menimba dan mengambil khazanah keilmuan Beliau, mulai dari kalangan masyarakat biasa, Sultan Paku Buwono X, para Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, bahkan Ir. Soekarno (Presiden RI pertama), Semaoen (Pendiri PKI), HOS Cokroaminoto, dan pejuang Revolusi Nasional yang lainnya juga kerap berguru dan berkonsultasi dengan Beliau (dikisahkan oleh saksi mata yang tidak mau disebutkan namanya, yang tidak diragukan lagi kebenarannya).
Ada beberapa Kitab yang menjadi buah pena Kyai Muh. Jawahir, diantaranya Kitab Perdukunan Islam (yang tidak diberi nama Kitabnya), Khozinatul Asror, Ma’dinul Asror, Al Insanul Kamil, Al Isro’ Wal Mi’roj, dan masih banyak lagi terutama berkaitan dengan Ilmu Thoriqoh. Salah satu kitab yang berhasil dihimpun kembali oleh K.H. Fahrur Rozi adalah kitab Irsyadul Mar’ah, dan telah diterjemahkan oleh putra KH Fahrur Rozi (Gus Kholil) dan telah diterbitkan oleh penerbit Darul Hikmah Jombang.
2. K. Ahmad Midkhol
Kyai Ahmad Midkhol adalah anak kedua dari Kyai Muh. Jawahir. Terdapat perkembangan yang sangat berarti dalam masa kepemimpinan Kyai Ahmad Midkhol dalam kaitannya dengan berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih. Pada masa kepemimpinan Kyai Ahmad Midkhol menjadi tonggak awal berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih secara yuridis formal. Sejak masa Kyai Ahmad Midkhol, telah resmi didirikan lembaga Pondok Pesantren dengan nama Pondok Pesantren Al Faqih, yang berdiri pada sekitar tahun 1937.
Gbr 2. Makam K. Ahmad Midkhol
Pada masa Kyai Ahmad Midkhol, belum memiliki ruang asrama pondok untuk tempat menginap para santri. Para santri yang datang dari daerah dan desa sekitar desa selo, pada umumnya saat itu tidur di Musholla/ Langgar kecil yang juga digunakan untuk mengaji dan sholat berjama’ah. Dari penuturan para santri Kyai Ahmad Midkhol yang telah pulang, pada zamannya tempat mengaji yang paling ramai dikunjungi masyarakat di desa Selo adalah di Langgar/Musholla kecil milik Kyai Ahmad Midkhol. Dan hampir semua Kyai Masjid ataupun Musholla yang ada di daerah/desa sekitar desa Selo sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al Faqih pada masa Kyai Ahmad Midkhol. Kyai Ahmad Midkhol sendiri, pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Termas.
3. K.H. Fachrur Rozi Midkhol
Kisah unik semasa Kyai Muh. Jawahir yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Pondok Al Faqih adalah kisah pada saat Kyai Ahmad Djailani Ma’nawi (Mbah Djailani) datang dan berkonsultasi dengan Kyai Muh. Jawahir perihal kesulitan Mbah Djailani memiliki putra/anak. Mbah Djailani adalah seorang penasihat keagamaan (Tapsir Anom) di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selanjutnya oleh Mbah Kyai Muh. Jawahir, Mbah Djailani diberi empat gulungan kertas kecil seukuran batu korek api. Dua gulungan kertas harus diminum oleh Mbah Djailani dan yang dua lagi harus diminum oleh istri beliau.
Selanjutnya dikisahkan bahwa Mbah Djailani telah memiliki dua orang anak laki-laki dan Beliau telah lama sekali tidak berkunjung (sowan) kepada Kyai Muh. Jawahir yang memberi perantara kepada Mbah Djailani dalam mendapatkan dua orang putra. Hingga akhirnya pada suatu malam Mbah Djailani bermimpi bertemu dengan Mbah Kyai Muh. Jawahir. Dalam mimpinya Mbah Kyai Muh. Jawahir berkata, “Iyo yo le...awakmu wes kasil niatanmu terus lali marang sopo seng melantari awakmu kasil iso duwe anak lanang lhoro” (Iya nak...kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, lantas melupakan aku yang telah melantari kamu bisa memiliki dua orang anak laki-laki). Mendapatkan mimpi tersebut, Mbah Djailani teringat kepada Mbah Jawahir dan Beliau ingin bertemu dengan Mbah Jawahir untuk membalas budi.
Pergilah Mbah Djailani ke Masjid Jami’ Kyai Ageng Selo di mana orang-orang sering menemui Mbah Kyai Muh. Jawahir. Di sana Beliau tidak menemukan sosok Mbah Kyai Muh. Jawahir. Setelah bertanya kepada warga yang ada di masjid tersebut, Beliau mendapati bahwa Mbah Kyai Muh. Jawahir telah meninggal dunia. Mbah Djailani tidak berhenti sampai di situ pencariannya, selanjutnya Beliau bertanya tentang anak Mbah Jawahir yang masih hidup. Dan ternyata semua anak Mbah Jawahir juga telah tiada. Dan terakhir Mbah Djailani bertanya tentang keberadaan cucu dari Mbah Jawahir, dan oleh warga yang ada di masjid tersebut menunjukkan ke rumah K.H. Fahrur Rozi (Mbah Fahrur, panggilan akrab Beliau). Mbah Fahrur adalah putra ke dua dari Mbah Kyai Ahmad Midkhol.
Setelah pergi ke rumah Mbah Fahrur dan bertemu Beliau, Mbah Djailani mengisahkan semua yang berkaitan dengan diri Beliau dan Mbah Jawahir. Selanjutnya Mbah Djailani meminta tolong kepada Mbah Kyai Fahrur untuk diantarkan ke makam Mbah Jawahir untuk berziarah.
Setelah berziarah ke makam Mbah Jawahir, Mbah Fahrur sekali lagi meminta Mbah Djailani untuk singgah ke rumah Mbah Fahrur. Mbah Djailani pun bersedia. Pada kesempatan itu, Mbah Djailani melihat adanya Musholla/ Langgar kecil (yang digunakan untuk mengaji semasa Mbah Kyai Ahmad Midkhol), dan di sebelah musholla terdapat pondasi bangunan yang belum rampung diselesaikan. Pondasi tersebut adalah pondasi bangunan untuk asrama para santri. Perlu diketahui bahwa pada masa kepemimpinan Mbah Fahrur jumlah santri yang mukim di Musholla terus bertambah, dan dirasa sangat perlu untuk mendirikan asrama penginapan bagi para santri.
Melihat kondisi bangunan yang belum selesai tersebut, Mbah Djailani berkeinginan untuk meneruskan pembangunan sebagai bentuk balas budi kepada Mbah Jawahir. Dan akhirnya pembangunan gedung asrama Pondok Pesantren Al Faqih pun terwujud (gedung pondok lama), dan diresmikan sekitar bulan Desember 1985.
Gbr 3. Pondok Pesantren Al - Faqih Putera
Kemajuan infrastruktur dan sarana dan parasana Pondok Pesantren Al Faqih sangat pesat pada masa kepemimpinan Mbah Kyai Fahrur Rozi. Mulai dari bangunan gedung asrama pondok, renovasi Musolla/ Langgar, pembangunan asrama pondok putri, dan yang terakhir adalah pembangunan kompleks Pondok Pesantren Al Faqih baru yang terdiri dari tujuh kamar penginapan bagi santri, masjid, dan dua rumah untuk putra beliau yang ditugaskan untuk mengurus kompleks pondok tersebut.
Untuk menunjang kemajuan pendidikan Pondok Pesantren Al Faqih dan syi’ar Islam pada umumnya, Mbah Fahrur memondokkan putra-putra Beliau di Pondok-Pondok Pesantren ternama yang diasuh oleh Kyai-Kyai Sepuh yang mumpuni, seperti di Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus yang diasuh oleh KH Arwani, dan Pondok Pesantren Langitan Tuban yang diasuh oleh KH Abdullah Faqih.