Senin, 14 Januari 2013

Ki Ageng Selo Leluhurku

Ki Ageng Selo Leluhurku _ Syekh Abdurrahman

 Babad Tanah Jawi menyebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.

   
   
Lantas, bagaimana juntrungan-nya Ki Ageng Selo bisa disebut penurun raja-raja Mataram? Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati inilah diturunkan para raja Mataram sampai sekarang.
 Namun, perkembangan ini hendaknya tidak melenakan, bahwa di sisi lain ada hal urgen yang mutlak diperhatikan. Yaitu, keabadian sejarah dan konsistensi mengamalkan Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Untuk yang pertama (mengabadikan sejarah) meniscayakan adanya kodifikasi sejarah Ki Ageng Selo dalam satu buku khusus, sebagaimana Wali Songo dan para wali lain bahkan para kiai mutakhir juga diabadikan ketokohan, jasa-jasa, dan keteladanannya dalam catatan sejarah yang utuh dan tuntas. Dari pengamatan penulis, buku-buku sejarah yang ada saat ini hanya menuturkan sekelumit saja tentang keberadaan Ki Ageng Selo sebagai penurun para raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta), serta kedigdayaannya menangkap petir (bledeg).
Minimnya perhatian ahli sejarah dan langkanya buku sejarah yang mengupas tuntas sejarah waliyullah sang penangkap petir, memunculkan kekhawatiran akan keasingan generasi mendatang dari sosok mulia kakek moyang raja-raja Mataram. Tidak mustahil, anak cucu kita (termasuk warga Surakarta dan Yogyakarta) akan asing dengan siapa dan apa jasa Ki Ageng Selo serta keteladanan-keteladanannya. Barangkali tidak banyak yang tahu bahwa Surakarta dan Yogyakarta memiliki ikatan sejarah dan emosional yang erat dengan Selo. Mungkin hanya warga di lingkungan Keraton yang mengetahui itu. Padahal ikatan itu kian kukuh dengan diabadikannya api bledeg di tiga kota tersebut. Bahkan pada tahun-tahun tertentu (Tahun Dal), untuk keperluan Gerebeg dan sebagainya, Keraton Surakarta mengambil api dari Selo.
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu :
1.       Ki Ageng Selo,
2.       Nyai Ageng Pakis,
3.       Nyai Ageng Purna,
4.       Nyai Ageng Kare,
5.       Nyai Ageng Wanglu,
6.       Nyai Ageng Bokong,
7.       Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 - 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja - raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing   wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu :
1. Nyai Ageng Lurung Tengah,
2. Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ),
3. Nyai Ageng Basri,
4. Nyai Ageng Jati,
5. Nyai Ageng Patanen,
6. Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama
7. Kyai Ageng Enis.
Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Selo adalah kakek moyang raja - raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum GREBEG Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja - raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak - arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing - masing. Menurut Shrieke  api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data - data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja - raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa - sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber - sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam - makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam - makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata - rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.
Menelusuri Jejak sang Penangkap petir
Ini adalah salah satu legenda Tanah Jawa, sesosok figur ulama di daerah Selo, Grobogan, Jawa Tengah yang bernama Ki Ageng Selo...
Silsilah

Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta) maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).
Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng Tarub. Ia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan dinasti Demak.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.
Sang Penangkap Petir
Kisah ini terjadi pada jaman ketika Sultan Demak Trenggana masih hidup. Syahdan pada suatu sore sekitar waktu ashar, Ki Ageng Sela sedang mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Petir datang menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng Selo. Gelegar..... petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun, ia tetap berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar genggaman tangan orang dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng Sunan di Kerajaan Istana Demak.
Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah-- makin kagum terhadap kesaktian Ki Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo tidak boleh diberi air.

Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang --perpangkat besar dan orang kecil-- datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah intruder (penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang ingin melihat petirnya Ki Ageng.


Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung kelapa) lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar... gedung istana tempat menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan petir. Kanjeng Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok tersebut adalah “petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang berhasil ditangkap Ki Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali menyatu, lalu hilang lenyap.
Versi lainnya
Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo berwujud seorang kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.


Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo, apalagi di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. "Dengan menyebut nama Ki Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar," kata Sarwono kepada Gatra.


Soal petir yang tidak pernah ada di Desa Selo diakui oleh Sakhsun, 54 tahun. Selama 22 tahun ia menjadi muazin Masjid Ki Ageng Selo, dan baru pada akhir November 2004 dilaporkan ada petir yang menyambar kubah masjid Ki Ageng Selo. Lelaki berambut putih itu pun terkena dampaknya. Petir itu menyambar sewaktu ia memegang mikrofon hendak mengumadangkan azan asar.


Sakhsun pun tersengat. Bibirnya bengkak. "Saya tidak tahu itu isyarat apa. Segala kejadian kan bisa dijadikan sebagai peringatan bagi kita untuk lebih beriman," katanya. Dia sedang menebak-nebak apa yang bakal terjadi di desa itu. Menurut kepercayaan setempat, kubah masjid adalah simbol pemimpin. Apakah artinya ada pemimpin setempat yang akan tumbang?


Larangan Menjual Nasi
Suatu hari ada dua orang pemuda yang bertamu ke rumah Ki Ageng Selo, Mereka bermaksud hendak belajar ilmu agama pada KI Ageng Selo. Sebagai tuan rumah yang baik, KI Ageng selo menghidangkan nasi pada mereka, namun mereka menolakya dengan alasan masih kenyang. Setelah merasa sudah cukup ( belajar ilmu agama ), kedua pemuda itu pun memohon untuk pamit pulang. Sepulang dari rumah Ki Ageng, kedua pemuda itu tidak langsung pulang, melainkan mampir ke warung nasi dulu untuk makan. KI Ageng Selo melihat hal itu. Beliau merasa sakit hati dan setelah itu beliau berkata “ Orang-orang di desa selo tidak boleh menjual nasi, kalau ada yang melanggarnya maka bledheg akan menyambar-nyambar di langit desa Selo “. Hingga saat ini penduduk yang tinggal di sekitar Komplek Makam KI Ageng Selo tidak ada yang menjual nasi.
Napak Tilas KI Ageng Selo
Terletak di dusun Krajan, RT II RW 02, Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Tempat ini juga merupakan salah satu tempat wisata di Kabupaten Grobogan karena mengandung nilai-nilai sejarah yang luar biasa.
Tempat-tempat penting yang masih berkaitan dengan KI Ageng Selo
1.   Makam  KI Ageng Tarub
Terletak di desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan sekitar 4 Km dari Makam KI Ageng Selo. Beliau adalah Buyut dari KI Ageng Selo. Di komplek Makam ada gentong yang airnya berasal dari sendang bidadari.
2.    Makam Bondan Kejawan / Lembu Peteng ( Kakek KI Ageng Selo )
Terletak di dusun Mbarahan Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Sekitar 3 Km dari Makam KI Ageng Selo. Di area komplek makam banyak di bangun patung dan stupa. Kini kondisinya semakin tidak terawat. Banyak patung yang mulai rusak. Namun masih banyak orang yang datang untuk berziarah
3.   KI Ageng Getas Pendowo
      Beliau adalah Bapak dari KI Ageng Selo. Makamnya terletak di Kuripan Purwodadi sekitar 15 Km dari Makam KI Ageng Selo.

Rabu, 19 September 2012

Tentang :: Guru Besar dan Keluarga Besar Al - Faqih

Gbr 1. Logo Pondok Pesantren Al - Faqih
                                                 
1. K. Muhammad Jawahir
Berbicara tentang sejarah atau asal mula berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih, maka tidak bisa terlepas dari sosok seorang Kyai yang bernama Kyai Muhammad Jawahir. Beliau adalah putra dari Kyai Imam Qusyairi, yang berasal dari daerah Banten. Beliau selanjutnya memperistri salah seorang keponakan dari Pangeran Diponegoro, dan selanjutnya Beliau menjadi “tangan kanan” Pangeran Diponegoro dalam berjuang melawan penjajah Belanda, dan bertugas di daerah Banten dan sekitarnya. Asal mula Kyai Imam Qusyairi bisa sampai di Desa Selo adalah berawal ketika Pangeran Diponegoro kalah perang dan tertangkap oleh Belanda, maka seluruh pasukan dan anak buah Pangeran menjadi buronan Belanda, termasuk Kyai Imam Qusyairi. Untuk menyelamatkan diri, Kyai Imam Qusyairi keluar dari Banten dan bersembunyi dari kejaran Belanda di desa terpencil yang bernama Selo. Di desa inilah Kyai Imam Qusyairi hidup dan membesarkan anak-anaknya dengan senantiasa menanamkan nilai-nilai antikolonialisme Belanda.
Kyai Muhammad Jawahir hidup dalam disiplin yang tinggi di bawah didikan ayahandanya Kyai Imam Qusyairi. Sehingga Beliau menjadi khazanah keilmuan yang luas, baik ilmu keagamaan maupun Falak atau perdukunan. Pada masa Kyai Muh. Jawahir Pondok Pesantren Al Faqih secara yuridis formal belum berdiri. Akan tetapi, Kyai Muh. Jawahir telah menerima konsultasi keilmuan, baik agama maupun yang lainnya, dan konsultasi tersebut lebih sering diadakan/dilaksanakan di Masjid Jami’ Kyai Ageng Selo. Itu artinya sejak masa Kyai Muh. Jawahir telah ada semacam kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya inilah yang menjadi embrio lahirnya/berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih.
Banyak kalangan yang menimba dan mengambil khazanah keilmuan Beliau, mulai dari kalangan masyarakat biasa, Sultan Paku Buwono X, para Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, bahkan Ir. Soekarno (Presiden RI pertama), Semaoen (Pendiri PKI), HOS Cokroaminoto, dan pejuang Revolusi Nasional yang lainnya juga kerap berguru dan berkonsultasi dengan Beliau (dikisahkan oleh saksi mata yang tidak mau disebutkan namanya, yang tidak diragukan lagi kebenarannya).
Ada beberapa Kitab yang menjadi buah pena Kyai Muh. Jawahir, diantaranya Kitab Perdukunan Islam (yang tidak diberi nama Kitabnya), Khozinatul Asror, Ma’dinul Asror, Al Insanul Kamil, Al Isro’ Wal Mi’roj, dan masih banyak lagi terutama berkaitan dengan Ilmu Thoriqoh. Salah satu kitab yang berhasil dihimpun kembali oleh K.H. Fahrur Rozi adalah kitab Irsyadul Mar’ah, dan telah diterjemahkan oleh putra KH Fahrur Rozi (Gus Kholil) dan telah diterbitkan oleh penerbit Darul Hikmah Jombang.
2. K. Ahmad Midkhol
Kyai Ahmad Midkhol adalah anak kedua dari Kyai Muh. Jawahir. Terdapat perkembangan yang sangat berarti dalam masa kepemimpinan Kyai Ahmad Midkhol dalam kaitannya dengan berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih. Pada masa kepemimpinan Kyai Ahmad Midkhol menjadi tonggak awal berdirinya Pondok Pesantren Al Faqih secara yuridis formal. Sejak masa Kyai Ahmad Midkhol, telah resmi didirikan lembaga Pondok Pesantren dengan nama Pondok Pesantren Al Faqih, yang berdiri pada sekitar tahun 1937.
Gbr 2. Makam K. Ahmad Midkhol
Pada masa Kyai Ahmad Midkhol, belum memiliki ruang asrama pondok untuk tempat menginap para santri. Para santri yang datang dari daerah dan desa sekitar desa selo, pada umumnya saat itu tidur di Musholla/ Langgar kecil yang juga digunakan untuk mengaji dan sholat berjama’ah. Dari penuturan para santri Kyai Ahmad Midkhol yang telah pulang, pada zamannya tempat mengaji yang paling ramai dikunjungi masyarakat di desa Selo adalah di Langgar/Musholla kecil milik Kyai Ahmad Midkhol. Dan hampir semua Kyai Masjid ataupun Musholla yang ada di daerah/desa sekitar desa Selo sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al Faqih pada masa Kyai Ahmad Midkhol. Kyai Ahmad Midkhol sendiri, pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Termas.
3. K.H. Fachrur Rozi Midkhol
Kisah unik semasa Kyai Muh. Jawahir yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Pondok Al Faqih adalah kisah pada saat Kyai Ahmad Djailani Ma’nawi (Mbah Djailani) datang dan berkonsultasi dengan Kyai Muh. Jawahir perihal kesulitan Mbah Djailani memiliki putra/anak. Mbah Djailani adalah seorang penasihat keagamaan (Tapsir Anom) di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selanjutnya oleh Mbah Kyai Muh. Jawahir, Mbah Djailani diberi empat gulungan kertas kecil seukuran batu korek api. Dua gulungan kertas harus diminum oleh Mbah Djailani dan yang dua lagi harus diminum oleh istri beliau.
Selanjutnya dikisahkan bahwa Mbah Djailani telah memiliki dua orang anak laki-laki dan Beliau telah lama sekali tidak berkunjung (sowan) kepada Kyai Muh. Jawahir yang memberi perantara kepada Mbah Djailani dalam mendapatkan dua orang putra. Hingga akhirnya pada suatu malam Mbah Djailani bermimpi bertemu dengan Mbah Kyai Muh. Jawahir. Dalam mimpinya Mbah Kyai Muh. Jawahir berkata, “Iyo yo le...awakmu wes kasil niatanmu terus lali marang sopo seng melantari awakmu kasil iso duwe anak lanang lhoro” (Iya nak...kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, lantas melupakan aku yang telah melantari kamu bisa memiliki dua orang anak laki-laki). Mendapatkan mimpi tersebut, Mbah Djailani teringat kepada Mbah Jawahir dan Beliau ingin bertemu dengan Mbah Jawahir untuk membalas budi.
Pergilah Mbah Djailani ke Masjid Jami’ Kyai Ageng Selo di mana orang-orang sering menemui Mbah Kyai Muh. Jawahir. Di sana Beliau tidak menemukan sosok Mbah Kyai Muh. Jawahir. Setelah bertanya kepada warga yang ada di masjid tersebut, Beliau mendapati bahwa Mbah Kyai Muh. Jawahir telah meninggal dunia. Mbah Djailani tidak berhenti sampai di situ pencariannya, selanjutnya Beliau bertanya tentang anak Mbah Jawahir yang masih hidup. Dan ternyata semua anak Mbah Jawahir juga telah tiada. Dan terakhir Mbah Djailani bertanya tentang keberadaan cucu dari Mbah Jawahir, dan oleh warga yang ada di masjid tersebut menunjukkan ke rumah K.H. Fahrur Rozi (Mbah Fahrur, panggilan akrab Beliau). Mbah Fahrur adalah putra ke dua dari Mbah Kyai Ahmad Midkhol.
Setelah pergi ke rumah Mbah Fahrur dan bertemu Beliau, Mbah Djailani mengisahkan semua yang berkaitan dengan diri Beliau dan Mbah Jawahir. Selanjutnya Mbah Djailani meminta tolong kepada Mbah Kyai Fahrur untuk diantarkan ke makam Mbah Jawahir untuk berziarah.
Setelah berziarah ke makam Mbah Jawahir, Mbah Fahrur sekali lagi meminta Mbah Djailani untuk singgah ke rumah Mbah Fahrur. Mbah Djailani pun bersedia. Pada kesempatan itu, Mbah Djailani melihat adanya Musholla/ Langgar kecil (yang digunakan untuk mengaji semasa Mbah Kyai Ahmad Midkhol), dan di sebelah musholla terdapat pondasi bangunan yang belum rampung diselesaikan. Pondasi tersebut adalah pondasi bangunan untuk asrama para santri. Perlu diketahui bahwa pada masa kepemimpinan Mbah Fahrur jumlah santri yang mukim di Musholla terus bertambah, dan dirasa sangat perlu untuk mendirikan asrama penginapan bagi para santri.
Melihat kondisi bangunan yang belum selesai tersebut, Mbah Djailani berkeinginan untuk meneruskan pembangunan sebagai bentuk balas budi kepada Mbah Jawahir. Dan akhirnya pembangunan gedung asrama Pondok Pesantren Al Faqih pun terwujud (gedung pondok lama), dan diresmikan sekitar bulan Desember 1985.
Gbr 3. Pondok Pesantren Al - Faqih Putera
Kemajuan infrastruktur dan sarana dan parasana Pondok Pesantren Al Faqih sangat pesat pada masa kepemimpinan Mbah Kyai Fahrur Rozi. Mulai dari bangunan gedung asrama pondok, renovasi Musolla/ Langgar, pembangunan asrama pondok putri, dan yang terakhir adalah pembangunan kompleks Pondok Pesantren Al Faqih baru yang terdiri dari tujuh kamar penginapan bagi santri, masjid, dan dua rumah untuk putra beliau yang ditugaskan untuk mengurus kompleks pondok tersebut.
Untuk menunjang kemajuan pendidikan Pondok Pesantren Al Faqih dan syi’ar Islam pada umumnya, Mbah Fahrur memondokkan putra-putra Beliau di Pondok-Pondok Pesantren ternama yang diasuh oleh Kyai-Kyai Sepuh yang mumpuni, seperti di Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus yang diasuh oleh KH Arwani, dan Pondok Pesantren Langitan Tuban yang diasuh oleh KH Abdullah Faqih.